NATALIA HESTY

Selamat Datang di Blog NATLIA HESTY. Bergerak, Tergerak, Menggerakkan. Tetap Belajar Walau Sudah Mengajar
SELAMAT DATANG DI BLOG NATALIA HESTY

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 25 Mei 2023

SISWA SMPN 20 SSINGKAWANG BAHU-MEMBAHU BANTU TEMAN YANG ALAMI MUSIBAH KEBAKARAN

 

SISWA SMPN 20 SSINGKAWANG BAHU-MEMBAHU BANTU TEMAN YANG ALAMI MUSIBAH KEBAKARAN

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Selasa, 23 Mei 2023 merupakan hari naas bagi keluarga salah satu siswi SMPN 20 Singkawang bernama Kaisah Amelia. Bagaimana tidak, tempat usaha orang tua siswi yang dikenal kalem dan pendiam ini yang beralamat di Jalan Veteran Simpang Jalan Angkasa ini rata dengan tanah dilahap si jago merah.

Tidak tinggal diam, dengan dimotori oleh kepala sekolah dan guru, seluruh personil sekolah turun tangan bahu-membahu mengumpulkan sumbangan seikhlasnya guna me,bantu meringankan beban yang dirasakan oleh keluarga Kaisah Amelia.

“Kami ikhlas membantu sebisa dan semampu kami untuk sedikit meringankan beban keluarga Kaisah,”ujar Aulia teman sekelas Kaisah yang diamini oleh seluruh anggota kelas lainnya.

Dijumpai terpisah, Eva Riyanti, S.Pd.I, selaku wali kelas ikut menuturkan rasa prihatinnya terhadap musibah yang dmenimpa salah satu keluarga siswa didiknya. “Kami bergerak cepat, mengumpulkan sumbangan dari guru dan siswa untuk membantu meringankan beban keluarga Kaisah, semoga berkenan dan bermanfaat,” pungkas guru mata pelajaran Agama Islam itu menutup wawancara singkat.

 

                                               Image by Instagram


“BEDOL DESA” SMPN 20 SINGKAWANG IKUTI LOKAKARYA WISATA DIGITAL GURU OLEH IGI SINGKAWANG

 

“BEDOL DESA” SMPN 20 SINGKAWANG IKUTI LOKAKARYA WISATA DIGITAL GURU OLEH IGI SINGKAWANG

Sebanyak dua belas orang yang terdiri dari kepala sekolah, guru, dan staf tata usaha SMP Negeri 20 Singkawang mengikuti lokakarya Wisata Digital Guru (WDG) yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) Singkawang.

Lokakarya WDG yang berfokus pada peningkatan kemahiran guru dalam memanfaatkan teknologi dan menciptakan media pada proses pembelajaran digelar di Taman Rekreasi Teratai Indah yang terletak di Jalan Burhani nomor 5 Kelurahan Pasiran, Kecamatan Singkawang Barat. Lokakarya  digelar dengan memanfaatkan waktu  akhir pekan dengan tujuan agar proses transfer ilmu oleh narasumber kepada peserta tidak mengganggu waktu dan kegiatan belajar mengajar di sekolah.

Lokakarya yang sedianya dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Singkawang namun akhirnya diwakili oleh Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Singkawang, H. Safari Hamzah S.Ag., M.Si. Hal ini disebabkan pada waktu bersamaan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Singkawang juga harus mengikuti kegiatan lain di Jakarta.

Pada sambutannya Safari menekankan pentingnya kegiatan literasi dilakukan oleh berbagai kalangan. Safari mengajak setiap insan khususnya guru untuk menghidupkan kembali praktik baik kebiasaan membaca yang tentunya berdampak bagi kekayaan pengetahuan maupun keragaman penguasaan kosakata setiap orang yang menghidupkan hobi membaca dalam dirinya.

Kegiatan lokakarya ini menghadirkan berbagai narasumber berkompeten dalam setiap materi yang disampaikan antara lain Helmi Fauzi dengan materi Transformation System In Industrial Revolution 5.0 and Seciety 5.O, Suhendra (Ketua Jurnalistik Kalbar dan Redaktur Suara Kalbar) dengan materi jurnalistik, Andri Suwandi dengan materi SAGUSAMED (Satu Guru Satu Media Edukasi) Pembuatan Blog, Sigit Aprisama dengan materi Mendesain Pembelajaran Berdiferensiasi Berbasis Teknologi Menggunakan Model Assure, dan Arie Tiyawarman materi SAGUSAPIJAR (Satu Guru Satu Metode Permainan dalam Pembelajaran) yang memandu para peserta lokakarya mendesai pembelajaran menyenangkan dengan memanfaatkan aplikasi Edu Game khususnya Wordwald.

Keikutsertaan dua belas personil dari SMPN 20 seolah “bedol desa” disebabkan dari seluruh guru dan tenaga pengajar SMPN 20 Singkawang yang total hanya terdiri dari 20 orang (termasuk kepala sekolah), 60% menyatakan kesediaan mengikuti lokakarya disebabkan ketertarikan mendalam terhadap materi yang akan disampaikan oleh narasumber.

Ditemui di sela-sela kegiatan, Deny Sartika, S.Pd., selaku salah satu guru SMPN 20 Singkawang yang mengikuti lokakarya mengungkap, “Kegiatan ini sangat berbobot. Materinya menarik, ditambah disampaikan oleh narasumber yang memang berkompeten.” Hal serupa juga disampaikan oleh Salmawanti, S.P., selaku guru mata pelajaran IPA di SMPN 20 Singkawang, “Saya pribadi merasa tertarik dan tertantang dengan berbagai tugas yang diberikan kepada peserta. Selain itu diselenggarakan di tempat yang tidak terlalu formal, jadi pikiran kita dan mood menjadi lebih fresh,” pungkas ibu dari empat orang anak ini.

Adapun kegiatan lokakarya ini diagendakan akan digelar dalam tiga kurun waktu yang berkesinambungan yakni pada Sabtu 20 Mei 2023, Sabtu 27 Mei 2023, dan Sabtu 3 Juni 2023.

KESEMPATAN KEDUA

 

KESEMPATAN KEDUA

Medio Maret 2020, Covid-19 mulai menggerayangi Indonesia. Keputusan mas menteri pendidikan yang menginstruksikan pembelajaran tatap muka dihentikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan menjadi headline berita yang mulai wara-wiri kubaca di laman media sosial instagramku. Seketika laci-laci emosiku terbongkar. Jujur, sebagai manusia biasa yang terkadang dihinggapi malas ada terselip rasa gembira karena pembelajaran tatap muka dihentikan sementara. Itu artinya untuk sementara waktu aku tak perlu bertemu ‘anak-anak bawang’ itu. Anak-anak bawang yang rasanya lebih sering menyebalkan dibanding mendatangkan kesenangan. Ya, rasanya mereka selalu memiliki amunisi untuk menguji kesabaranku. Tidak hanya aku, rekan-rekan guru lain di sekolahku pun acapkali mengeluh perihal tingkah mereka. Bedanya, rekan guru lain mungkin menyimpan atau bahkan mampu memproduksi jutaan stok kesabaran luar biasa untuk menghadapi polah mereka yang sungguh menguras energi. Sementara aku, hanya manusia biasa yang masih selalu juara dalam mengedepankan amarah.

 Namaku Mahesa Wara. Orang sering memanggilku dengan sebutan Mahes. Demikian juga dengan anak-anak bawang itu memanggilku Pak Mahes. Kata orang, guru muda biasanya lebih mudah diterima keberadaannya oleh para siswa karena pada umumnya memiliki ilmu pendekatan khusus dalam memahami jiwa kekinian para siswa. Tapi tidak demikian denganku. Aku menjadi guru hanyalah proses ‘banting setir’ akibat jerumusan orang tuaku yang juga berprofesi sebagai guru. Sementara hati kecilku sungguh menolak profesi itu. Aku menyadari diriku bukanlah tipikal orang yang sabar dan telaten dalam menjelaskan sesuatu, terlebih jika ketika aku sudah menjelaskan sekali lantas masih ada yang bertanya, emosiku akan dengan mudah terpancing. Aku tak ingin sifatku yang temperamen malah menjadi batu sandungan dalam hidupku di kemudian hari.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, suatu kebetulan yang kurang menyenangkan buatku ketika dalam tes masuk aparatur sipil negara aku lolos seleksi. Terbayang di hadapanku puluhan tahun aku akan mengabdi pada negeri ini dengan cara yang paling kuhindari. Menjadi guru, ya menjadi guru. Bagi sebagian orang menjadi guru apalagi berlabel guru aparatur sipil negara merupakan suatu dambaan. Sementara aku hanyalah menuruti keinginan orang tua yang begitu memimpikan anaknya menjadi penerusnya. Kata-kata bapak yang selalu terngiang di telingaku hanya satu, “Nak, jadilah guru seperti kami. Amal ibadahmu jariah, akan terus bertambah sepanjang kau menularkan pengetahuanmu meskipun ajal menjemputmu.” Terwujudlah perkataan beliau itu kini. Aku menjadi guru di salah satu sekolah menengah pertama di kotaku. Sedikit hiburan bagi hatiku hanyalah keberhasilanku mewujudkan impian kedua orang tuaku, selebihnya, aku tak ayal sesosok robot yang menjalankan kewajibanku.

Hari-hari kuhabiskan dengan mengajar. Hanya mengajar tapi tidak mendidik. Kukatakan hanya mengajar tapi tidak mendidik karena dalam proses pembelajaran yang kujalani, aku tak pernah peduli apakah para anak bawang itu memahami apa yang kuajarkan. Selebihnya, jangankan memahami apa yang kuajarkan, berapa jumlah mereka yang hadir dalam satu kelas saat mengikuti kegiatan pembelajaranku saja aku tak pernah ambil pusing. Hingga tibalah masa itu, masa yang kurasa paling kutunggu dalam hidupku meskipun aku tak pernah tahu ternyata akan datang masa itu. Suatu masa kala wabah penyakit yang disebabkan virus Corona menginfasi penjuru bumi. 

“Bapak Ibu rekan-rekan guru, diharapkan kehadirannya besok pagi di ruang guru guna mengikuti rapat membahas proses pembelajaran yang akan kita selenggarakan selama masa pandemi.” Demikian pesan singkat yang kuterima dari kepala sekolah kala mas menteri pendidikan sudah mengeluarkan instruksi pembelajaran tatap muka dihentikan sementara. Ketika menerima pesan singkat itu di ponselku, wajahku sumringah. Senyumku mengembang, aku sungguh merasa senang. Sudah terbayang di benakku aku tak perlu terpaksa bangun pagi dan bergegas menuju sekolah. Sebuah rutinitas yang benar-benar membuatku jengah. 

Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Selepas mandi, kupacu kuda besiku ke arah sekolah. Tak pernah aku merasa lebih berenergi seperti pagi itu.

“Selamat pagi!” sapaku pada penjaga sekolah.

“Tumben awal, Pak. Biasanya terlambat.” Sapaan penjaga sekolah yang seharusnya membuat aku tersinggung malah kubalas dengan kelakar,

“Iya nih, lagi happy!”

Beringsut penjaga sekolah dari hadapanku dengan tampang yang bingung dan ragu-ragu. Ah, masa bodohlah dengan semua itu.

Sepanjang rapat bersama kepala sekolah dan dewan guru, aku tak henti-hentinya merasakan gembira. Keputusan diambil, pembelajaran jarak jauh dilaksanakan dengan cara virtual. Bagi sebagian guru, mengajar secara virtual menjadi beban pikiran yang mengganjal, namun semua itu tak berlaku pada diriku. Selama ini kemajuan teknologi menjadi sesuatu yang kugandrungi. Minatku memang lebih besar pada bidang itu. Aku lebih tertarik bekerja sebagai praktisi teknologi yang tentunya tidak membutuhkan banyak pembicaraan. Aku suka bekerja di balik layar. Kurasa hal ini juga yang membuatku tak senang berhadapan langsung dengan anak bawang yang banyak tingkah itu.

Pembelajaran virtual sudah berlangsung selama sepekan, namun pada awal kegiatan pembelajaran aku sudah dibuat tak nyaman. Bertubi-tubi pertanyaan diajukan oleh siswa terkait pengoperasian aplikasi pembelajaran. Tak henti-hentinya perangkat komunikasiku berdering-dering demi pertanyaan, “Bapak, ini gimana daftar *classroom?”, “Pak, saya ga tau email saya apa, saya ngga bisa login classroom.”, atau “Bapak, kuota saya nda cukup untuk *zoom meet.”, “HP saya jadul Pak, cuma bisa buat sms,” dan ratusan pertanyaan dan pernyataan lain yang jawabannya serupa namun harus kuulangi berkali-kali karena mereka tak berhadapan langsung secara klasikal. Aku bergumam, “Sabar Mahes, ini cuma di awal. Nanti kalau mereka sudah terbiasa belajar virtual, pasti ponselmu tak lagi sesibuk ini.”

Benar saja, kira-kira dua minggu setelah penetapan pembelajaran virtual dilakukan, ponselku terasa sedikit lebih tenang. Tak lagi berdering-dering seperti di awal. Aku mulai tenang. Perasaanku sungguh senang. Namun, sungguh aku tak tahu, di hadapanku mulai muncul riak-riak baru.

Memasuki sebulan pembelajaran virtual, sebuah notifikasi masuk ke ponselku. “Bapak Ibu guru yang terhormat, dimohon kehadirannya besok pagi di sekolah guna evaluasi proses pembelajaran virtual yang telah diterapkan.” Demikian pesan singkat berisi undangan rapat.

“Susahnya anak-anak ditagih tugas, bagaimana mau memberi nilai,” seorang rekan guru mulai menyampaikan keluhan.

“Pukul 10 saya telepon masih tidur, bagaimana mau zoom meet. Dikiranya belajar di rumah bisa seenaknya begitu ya,” ujar yang lain.

“Mamaknya Dhika chat saya tadi pagi katanya mau datang ke sekolah, mau minta tugas, katanya dia nda punya uang untuk membelikan kuota anaknya untuk mengirim tugas,” sambut guru lain.

Kepala sekolah terdiam mendengar berbagai keluhan. Aku mulai tercenung. Ternyata pembelajaran jarak jauh tidak sesederhana yang kupikirkan. Berbagai persoalan muncul satu per satu seperti gunung es di lautan. Tampak kecil di permukaan namun begitu besar di bagian dasar. Ah, persetan dengan semua masalah itu. Toh mereka bukan anakku, bukan sanak saudaraku. Yang terpenting tugasku sudah kulaksanakan, mengajar dengan cara virtual. Persoalan materi dipahami oleh siswa atau seberapa banyak mereka yang tertib mengumpulkan tugas itu urusan belakang. Nilai dapat dengan mudah kukarang. Yang jelas selepas rapat ini aku berencana untuk nongkrong, ngopi di kafe langgananku.  

Aku menekur di sudut kafe yang lumayan tersohor di kotaku. Sembari menyesap dalam-dalam mild yang terselip di antara jemariku. Di luar dugaan, keluhan rekan-rekan guru sepanjang rapat tadi mengusik ketenanganku. Apa-apaan ini! Aku mulai muak dihantui suara keluhan bertubi-tubi. Kupanggil seorang pramusaji,

“Neng, kopi susu satu gelas lagi ya, sepaket dengan pisang goreng srikaya.” Tak banyak bicara pramusaji itu berlalu dari hadapanku. Wajahnya pucat, tampak tak sehat. Mungkin dia kelelahan setelah seharian melayani pesanan pengunjung.

Tak perlu menunggu lama pesananku tiba. Kembali kunikmati kopi susu yang sudah memasuki hitungan gelas kedua. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.04 WIB. Sudah saatnya aku pulang.

Lima hari berselang sejak aku selesai ngopi di kafe itu kurasakan tubuhku melemah. Rasa-rasanya suhu tubuhku merangkak naik. Demam dan tenggorokan terasa kering. Hari keenam aku mulai batuk kering. Ah, mungkin gejala batuk flu biasa. Aku berniat keluar rumah, tujuanku satu, ke kafe, mencari kopi sebagai penyegar. Sial, kafe langgananku tutup, padahal sejauh yang aku tahu kafe ini tidak pernah tutup sejak diresmikan kira-kira dua tahun lalu dan hanya tutup ketika jam operasionalnya sudah habis. Aku memutar kendaraanku ke arah jalan pulang. Sesampai di rumah aku bergegas ke dapur, kuseduh dan kuaduk kopi sendiri lantas kunikmati dengan mulai menyulut mild kegemaranku. Konon kata orang obat batuk bagi perokok adalah dengan semakin memperbanyak mengisapnya, dan itu yang kini tengah kujalani. Anehnya, aroma kopi yang biasa segera menghampiri penciumanku tak terendus sama sekali. Ah, mungkin karena batuk ini. Tunggu...tunggu... bukankah aku batuk, aku tidak flu. Yang menghambat penciuman adalah akibat flu, bukan batuk. Mengapa aku masih tak dapat membaui aroma kopi ini. Sore itu tetap kusesap kopi dan mild di hadapanku tanpa kutahu paru-paruku mulai kehilangan fungsinya sedikit demi sedikit.

Hari ke-8 usai aku menikmati kopi di kafe itu. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. “Mahes, Kafe Golden tutup dari kemarin, pegawainya kena Covid semua!” Bagai tersambar petir, seketika aku lemas membaca pesan singkat itu. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku dilanda kebingungan, apakah gejala demam dan hilang penciuman ini karena aku terpapar dari pegawai kafe yang 8 hari lalu kukunjungi? Kuraih kembali ponselku, aku mencari tahu tentang gejala Covid 19. Dan benar saja, gejala yang kualami seluruhnya benar-benar cocok dengan yang tertera di laman kesehatan di layar ponselku. Aku semakin lemas. Aku lantas menelepon bapak meskipun beliau berada di teras, persis di depan kamarku.

“Pak, kayaknya aku kena Covid,” setengah menangis aku mengadu pada bapakku. Seumur hidupku baru kali ini kurasakan ketakutan yang terlampau kuat. Aku takut mati seperti berita tentang pasien Covid di televisi.

Bapak tak kalah terperanjat. Kulihat dari jendela kamar beliau seketika berdiri dan hendak berlari masuk menghampiri kamarku. Segera aku berteriak,

“Jangan, Pak. Jangan dekati aku. Aku mau telpon temanku yang pegawai puskesmas saja.”

Sore itu juga aku dijemput tiga orang petugas berpakaian pelindung diri lengkap. Aku dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan intensif.

Benar saja, tes swab-ku menunjukkan aku positif terpapar Covid. Semakin hari kurasa keadaanku semakin lemah dan parah. Aku kesulitan bernafas. Sebelumnya aku memmang memiliki riwayat asma. Jika kuhitung sejak dirujuk ke rumah sakit sudah kuhabiskan 5 tabung oksigen agar aku dapat bernafas sedikit lega. Ada kalanya aku sampai tertidur kala kelelahan menahan sesaknya dada. Hingga suatu malam aku terbangun, kurasakan tubuhku ringan. Nafasku lega, tak seperti sebelumnya ketika aku setengah mati berusaha menarik nafas melalui indra penciuman. Kurasa aku juga bebas berjalan-jalan di koridor rumah sakit tanpa satu petugas rumah sakit pun menahanku agar tak keluar dari ruang isolasi. Aku cukup heran dengan keadaanku. Tak berapa lama kemudian aku kembali ke ruang isolasi dan, “Astagaaa….!” Aku mendapati diriku terkapar masih lengkap dengan masker oksigen menempel di wajahku. “Astagfirullah, aku meninggal!” Aku kalap. Aku berusaha mengguncang-guncang tubuhku namun sama sekali tak bergerak sedikitpun. Baru kusadari aku tak dapat menyentuh tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu banyak bayangan terlintas dalam benakku kala itu. Bayangan kedua orang tuaku, bayangan rekan kerja di sekolahku, dan bayangan wajah anak-anak bawang itu. Ya Tuhan, mengapa seketika rasa rindu yang kuat kepada mereka terasa menyekap. Aku ingin berada di antara mereka. Sangat ingin! Sejenak menenangkan diri, aku lantas berusaha berbaring kembali di tubuhku. Masih sambil menangis, aku berusaha menyatu kembali dengan ragaku. Aku lelah menangis dan kembali tertidur.

Kurasakan tubuhku diguncang-guncang. Ketika membuka mata aku mendapati seorang petugas rumah sakit berpakaian pelindung diri memang berusaha membangunkanku. Jadwalnya aku mengonsumsi obat pereda Covid. Tak banyak yang kulakukan, aku lantas memeluk erat petugas rumah sakit berpakaian pelindung diri itu sambil kembali menangis. Petugas itu hanya bingung mendapati aku yang memeluknya seerat mungkin lantas berkata, “Mas, jangan nangis, nanti nafasnya semakin sesak.”

Hampir sebulan aku berada di ruang isolasi ini. Kurasa kondisiku mulai membaik. Bahkan terlampau baik. Aku harus kembali menjalani tes swab sebelum dinyatakan boleh pulang. Segala puji bagi Tuhan, hasil tes swab-ku negatif. Aku boleh pulang. Aku sungguh-sungguh merasa rindu pada segala aktivitasku. Aku rindu orang tuaku, aku rindu rekan-rekan kerjaku. Dan harus kuakui, aku rindu anak-anak bawang itu. Entah mengapa aku rindu tingkah polah mereka yang menyebalkan itu.

Sebenarnya aku sendiri tidak benar-benar tahu apakah yang kualami waktu itu adalah kematiaan sesaat atau yang lebih populer disebut dengan mati suri atau hanya bunga tidur yang terjadi karena ketakutanku yang berlebihan soal kematian pasien Covid-19. Namun semua kusimpulkan sebagai ‘teguran’ yang menyadarkan.

Kepulanganku dijemput oleh keluarga besarku. Satu yang pasti, sejak melangkah meninggalkan ruang isolasi, aku berjanji dalam hati, aku akan mengabdi sepenuh hati, aku akan mencintai profesiku kini. Aku akan mengajar dan mendidik anak-anak bawang itu. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan hidup keduaku dan akan lebih bersyukur atas segala yang sudah menjadi takdirku.

 

                                                   Image by google

 

 

JELAJAH WAKTU, SINGKAWANG ‘TEMPO DOELOE’

 

Natalia Hesty Tri Handayani, M.Pd.

SMP Negeri 20 Singkawang

 

JELAJAH WAKTU, SINGKAWANG ‘TEMPO DOELOE’

Kemudian, atas nama rindu, kutelusuri bayangan pada cerita yang pernah menggiringku menyusuri sudut-sudut kota itu. Di antara pecinan tua, bangunan serta gereja bergaya Belanda, kuil-kuil bersahaja dengan semarak aroma dupa yang mesra bertetangga dengan Masjid Raya. Ingatkah kau tentang menara PDAM kota kita yang menjulang gemilang serta kokoh melegenda. Taman Burung yang sudah ditinggalkan seluruh penghuninya, hingga keruhnya sungai yang tetap setia dan mesra membelah jantung kota. Bukankah setiap langkah dari kaki sanggup membawa pergi ke tempat mana pun yang kita ingini, tapi bagaimana halnya dengan hati yang terlanjur tertinggal di kota ini? Masih atas nama rindu, karena jika kau mencintai sesuatu, setiap kali bayangannya sirna dan berlalu, kau akan kehilangan sebagian dari dirimu.  


Apa yang istimewa dari sebuah kota selain eksotisme budayanya, selain denyar keramahan penduduknya, selain cita rasa kuliner khasnya yang pantang enyah karena terlanjur lengket di lidah. Tak lain tak bukan jawabannya berkisar pada kenangan. Sebuah sejarah berlabel kenangan menjadi sesuatu yang mutlak tak tertawar dan mangkus menyita sebagian besar memori  hidup setiap manusia. Keberadaan suatu kota yang sanggup melestarikan cagar budayanya  seolah menjadi jawaban untuk menaungi kenangan  masa silam setiap orang yang sempat terlibat secara emosional. 


Artikel kali ini akan memanjakan mata dan ingatan pembaca dengan mengajak bernostalgia, menjelajah waktu, kembali ke masa lalu. Menelusuri sudut-sudut Kota Amoi, yang dari sumber utama yakni arsip foto-foto dari Pastor Yeremias Melis, OFM.Cap., Kearsipan Perpustakaan Daerah Singkawang, maupun berbagai sumber, gambar-gambar pengingat masa lalu yang terserak itu didapatkan. Foto-foto yang didapat dari Pastor Yerry bersumber dari buku yang beliau miliki. Tak lupa di beberapa objek foto terdahulu yang masih dapat ditelusuri keberadaannya disertakan sebagai pembanding sekaligus sebagai pemutar kenangan masa silam.    






















Hidup ini penuh warna jika dalam ingatan, kita berhasil merekam begitu banyak kenangan. Hidup ini sarat arti jika kita menilainya dari sudut pandang hati. Hidup ini indah jika kita sanggup menertawakan segala keluh kesah tanpa melupakan sejarah. Kita sering kali terus menerus melihat ke luar, namun lupa menengok ke dalam diri karena menganggap terlalu hambar. Kita berulang kali lebih peduli dengan sejarah sesuatu yang asing dan justru abai pada kisah bumi kelahiran yang sebenarnya sanggup jadi pembanding. Kita acapkali sukses menancapkan cerita tentang tanah seberang di dalam kepala, sementara kisah tanah berpijak kita seolah dimaklumkan untuk terlupa.

 

Sejarah kita bukan produk karbitan, ia lahir karena tempaan zaman. Jika dapat bertahan di tengah perubahan adalah sesuatu yang mengagumkan dan pasti penuh dengan perjuangan. Dinamika kehidupan menghasilkan transformasi kebudayaan, dapatkah dipertahankan, setidaknya bisakah kita menjaganya tetap utuh dalam kotak-kotak bernama ingatan yang pada akhirnya akan kita abadikan dalam sesuatu yang kita sebut sebagai kenangan. Karena apa yang kita anggap sebagai kenangan sejarah masa lalu, demikian halnya akan dianggapkan oleh anak cucu kita saat memandang wajah kita sekarang di masa depan. Ya, kita juga adalah cikal bakal sejarah yang mungkin saja abadi dan lestari dalam kenangan, atau bahkan lindap dari ingatan masa depan. (Hes)

 

 

 

 

AJARI SISWA SENI JATHILAN SMPN 20 SINGKAWANG BOYONG SENIMAN KUDA LUMPING TERSOHOR

  

AJARI SISWA SENI JATHILAN SMPN 20 SINGKAWANG BOYONG SENIMAN KUDA LUMPING TERSOHOR



Dokumentasi sekolah: siswa unjuk bakat kesenian Jathilan Kuda Lumping dalam acara penutupan pentas seni di hadapan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Singkawang

 

Guna menyukseskan program Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Singkawang yaitu Gerakan Satu Sekolah Satu Kearifan Lokal (GS3KL) SMPN 20 Singkawang menggandeng salah satu sanggar kesenian kuda lumping tersohor di Kota Singkawang sebagai mitra pembelajar bagi siswa.

Endra Muplihun, S.Pd., M.Pd., sselaku kepala sekolah SMPN 20 Singkawang mantap memilih kesenian kuda lumping sebagai kearifan lokal yang dikembangkan di sekolah yang beralamat di Gang Tak Sangka ini setelah didasari beberapa pertimbangan. Salah satunya adalah memanfaatkan potensi siswa yang memang merupakan putra dari pengurus kesenian kuda lumping tersebut.

“Beberapa siswa kita orang tuanya adalah pengurus paguyuban kuda lumping itu, dan saya juga berkenan saat mereka menampilkan bakat mereka di depan Kepala Dinas Pendidikan pada saat penutupan kegiatan Pentas Seni Sekolah, Desember lalu. Selain itu pada saat rapat internal dengan guru-guru dan komite sekolah, kami semua sepakat kesenian inilah yang dipilih sebagai kearifan lokal oleh sekolah,” ujar pria berperawakan sedang itu.

Pihak SMPN 20 Singkawang menilai paguyuban kesenian yang telah eksis sejak belasan tahun ini digadang mampu menjadi salah satu jembatan pengintegrasian kesenian tradisional kepada siswa generasi penerus. Kegiatan kesenian ini juga diharapkan mampu menjadi sarana edukasi kebudayaan khususnya kearifan lokal guna melestarikan budaya bangsa.  

Berawal dari kesuksesan siswa dalam menampilkan kesenian Jathilan sebagai bagian dari acara pentas seni di SMPN 20 Singkawang yang digelar Desember pada tarikh 2022 lalu, maka pihak sekolah cepat tanggap saat melihat minat bakat siswa dalam kesenian ini. Gayung bersambut oleh orang tua siswa yang menjadi pelatih seni, maka dipilihlah kesenian Jathilan Kuda Lumping sebagai kearifan budaya lokal SMPN 20 Singkawang.

Berlokasi latihan di Jalan Tama, Roban, yang merupakan pusat kesenian paguyuban seni kuda lumping, siswa dibimbing dan diajarkan seni Jathilan kuda lumping mulai dari filosofinya hingga berbagai gerakan tariannya. Untuk waktu latihan sendiri dijadwalkan seminggu dua kali pertemuan pada sore hari.

Topik Irwanto selaku pengurus paguyuban kuda lumping mengungkapkan perasaannya saat banyak siswa SMPN 20 Singkawang ternyata tertarik untuk bergabung di dalam sanggarnya, “Saya bangga akan ada penerus kesenian ini, yang jelas kesenian ini tidak akan punah,” tandas lelaki berperawakan tinggi dan berambut gondrong itu. (Hes)

 

 

 

 

RANGKAIAN KEGIATAN UJIAN DI SMP NEGERI 20 SINGKAWANG BERLANGSUNG AMAN TERTIB LANCAR

 

RANGKAIAN KEGIATAN UJIAN DI SMP NEGERI 20 SINGKAWANG BERLANGSUNG AMAN TERTIB LANCAR


 

Penghujung tahun pelajaran 2022/2023 hampir mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan diadakannya proses evaluasi kegiatan belajar mengajar yakni rangkaian ujian baik ujian praktik maupun ujian sekolah bagi kelas IX, maupun penilaian akhir semester bagi kelas VII dan VIII pada jenjang Sekolah Menengah Pertama.

Praktik evaluasi pembelajaran ini juga digelar di SMP Negeri 20 Singkawang yang beralamat di Jalan Veteran Gang Tak Sangka, Roban, Singkawang. Sebanyak lima ruang dipersiapkan oleh panitia dan digunakan untuk memfasilitasi 101 siswa kelas IX yang akan mengikuti ujian sekolah

 Ujian digelar dari hari Senin tanggal 22 Mei hingga Jumat 26 Mei 2023 Eva Lindawati Gultom S.Pd. selaku ketua panitia ujian praktik maupun ujian sekolah SMP Negeri 20 Singkawang menuturkan bahwa sebanyak 101 siswa kelas IX akan mengikuti ujian sekolah yang dilaksanakan di SMP Negeri 20 Singkawang dengan menggunakan fasilitas lima ruang yang sudah disiapkan oleh panitia secara maksimal.

Ditemui di ruang berbeda, Kepala Sekolah SMP Negeri 20 Singkawang, Endra Muplihun, S.Pd., M.Pd., juga menuturkan hal serupa, “Kami mempercayakan panitia ujian praktik dan ujian sekolah tahun ini kepada Ibu Eva Lindawati Gultom, S.Pd., dengan pertimbangan bahwasanya yang bersangkutan sudah terbiasa dan berpengalaman meng-handle kegiatan ujian dari tahun ke tahun. Beliau dengan cermat telah mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan ujian hingga nanti proses penyerahan surat keterangan lulus, maupun ijazah siswa. Dan terbukti ujian praktik maupun ujian sekolah yang diselenggarakan berlangsung aman tertib dan lancar,” pungkasnya.

Adapun selain menggelar ujian sekolah bagi siswa kelas IX di hari yang sama diatur sedemikian rupa penyelenggaraan penilaian akhir semester bagi siswa kelas VII dan VIII khusus mata pelajaran prakarya. Siswa diarahkan untuk menata taman yang di dalamnya menitikberatkan tanaman apotek hidup sebagai objek tanamnya. Dengan dipandu oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan secara bergiliran sesuai dengan jadwal maka siswa kelas VII  dan VIII menata taman di sekitar lingkungan sekolah. Hal ini tentu berdampak positif bagi siswa yang bersangkutan maupun sekolah. Siswa menjadi lebih terampil dan memiliki kemampuan bercocok tanam sembari mengenali berbagai macam tanaman apotek hidup, sekaligus memperindah lingkungan sekolah.

Praktik penilaian akhir sekolah berupa penanaman tanaman apotek hidup ini juga mendapat dukungan penuh dari pihak orang tua siswa. Hal ini ditunjukkan dengan keikutsertaan orang tua siswa dalam penyediaan berbagai bibit tanaman apotek hidup.  Tentunya ini merupakan langkah nyata kepedulian dan pembuktian bahwa paguyuban orang tua merupakan salah satu penyokong utama dan kunci keberhasilan pada atmosfer dunia pendidikan di SMP Negeri 20 Singkawang.