KESEMPATAN KEDUA
Medio Maret 2020, Covid-19 mulai
menggerayangi Indonesia. Keputusan mas menteri pendidikan yang menginstruksikan
pembelajaran tatap muka dihentikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan
menjadi headline berita yang mulai wara-wiri kubaca di laman media
sosial instagramku. Seketika laci-laci emosiku terbongkar. Jujur, sebagai
manusia biasa yang terkadang dihinggapi malas ada terselip rasa gembira karena
pembelajaran tatap muka dihentikan sementara. Itu artinya untuk sementara waktu
aku tak perlu bertemu ‘anak-anak bawang’ itu. Anak-anak bawang yang rasanya
lebih sering menyebalkan dibanding mendatangkan kesenangan. Ya, rasanya mereka
selalu memiliki amunisi untuk menguji kesabaranku. Tidak hanya aku, rekan-rekan
guru lain di sekolahku pun acapkali mengeluh perihal tingkah mereka. Bedanya,
rekan guru lain mungkin menyimpan atau bahkan mampu memproduksi jutaan stok
kesabaran luar biasa untuk menghadapi polah mereka yang sungguh menguras energi.
Sementara aku, hanya manusia biasa yang masih selalu juara dalam mengedepankan amarah.
Namaku Mahesa Wara. Orang sering memanggilku
dengan sebutan Mahes. Demikian juga dengan anak-anak bawang itu memanggilku Pak
Mahes. Kata orang, guru muda biasanya lebih mudah diterima keberadaannya oleh
para siswa karena pada umumnya memiliki ilmu pendekatan khusus dalam memahami
jiwa kekinian para siswa. Tapi tidak demikian denganku. Aku menjadi guru
hanyalah proses ‘banting setir’ akibat jerumusan orang tuaku yang juga
berprofesi sebagai guru. Sementara hati kecilku sungguh menolak profesi itu. Aku
menyadari diriku bukanlah tipikal orang yang sabar dan telaten dalam
menjelaskan sesuatu, terlebih jika ketika aku sudah menjelaskan sekali lantas
masih ada yang bertanya, emosiku akan dengan mudah terpancing. Aku tak ingin
sifatku yang temperamen malah menjadi batu sandungan dalam hidupku di kemudian
hari.
Untung tak dapat diraih,
malang tak dapat ditolak, suatu kebetulan yang kurang menyenangkan buatku
ketika dalam tes masuk aparatur sipil negara aku lolos seleksi. Terbayang di
hadapanku puluhan tahun aku akan mengabdi pada negeri ini dengan cara yang
paling kuhindari. Menjadi guru, ya menjadi guru. Bagi sebagian orang menjadi
guru apalagi berlabel guru aparatur sipil negara merupakan suatu dambaan.
Sementara aku hanyalah menuruti keinginan orang tua yang begitu memimpikan
anaknya menjadi penerusnya. Kata-kata bapak yang selalu terngiang di telingaku
hanya satu, “Nak, jadilah guru seperti kami. Amal ibadahmu jariah, akan terus
bertambah sepanjang kau menularkan pengetahuanmu meskipun ajal menjemputmu.”
Terwujudlah perkataan beliau itu kini. Aku menjadi guru di salah satu sekolah
menengah pertama di kotaku. Sedikit hiburan bagi hatiku hanyalah keberhasilanku
mewujudkan impian kedua orang tuaku, selebihnya, aku tak ayal sesosok robot
yang menjalankan kewajibanku.
Hari-hari kuhabiskan dengan
mengajar. Hanya mengajar tapi tidak mendidik. Kukatakan hanya mengajar tapi
tidak mendidik karena dalam proses pembelajaran yang kujalani, aku tak pernah
peduli apakah para anak bawang itu memahami apa yang kuajarkan. Selebihnya,
jangankan memahami apa yang kuajarkan, berapa jumlah mereka yang hadir dalam
satu kelas saat mengikuti kegiatan pembelajaranku saja aku tak pernah ambil
pusing. Hingga tibalah masa itu, masa yang kurasa paling kutunggu dalam hidupku
meskipun aku tak pernah tahu ternyata akan datang masa itu. Suatu masa kala
wabah penyakit yang disebabkan virus Corona menginfasi penjuru bumi.
“Bapak Ibu rekan-rekan guru,
diharapkan kehadirannya besok pagi di ruang guru guna mengikuti rapat membahas proses
pembelajaran yang akan kita selenggarakan selama masa pandemi.” Demikian pesan
singkat yang kuterima dari kepala sekolah kala mas menteri pendidikan sudah
mengeluarkan instruksi pembelajaran tatap muka dihentikan sementara. Ketika
menerima pesan singkat itu di ponselku, wajahku sumringah. Senyumku mengembang,
aku sungguh merasa senang. Sudah terbayang di benakku aku tak perlu terpaksa
bangun pagi dan bergegas menuju sekolah. Sebuah rutinitas yang benar-benar
membuatku jengah.
Pagi itu aku bangun lebih awal
dari biasanya. Selepas mandi, kupacu kuda besiku ke arah sekolah. Tak pernah
aku merasa lebih berenergi seperti pagi itu.
“Selamat pagi!” sapaku pada
penjaga sekolah.
“Tumben awal, Pak. Biasanya
terlambat.” Sapaan penjaga sekolah yang seharusnya membuat aku tersinggung
malah kubalas dengan kelakar,
“Iya nih, lagi happy!”
Beringsut penjaga sekolah dari
hadapanku dengan tampang yang bingung dan ragu-ragu. Ah, masa bodohlah dengan
semua itu.
Sepanjang rapat bersama kepala
sekolah dan dewan guru, aku tak henti-hentinya merasakan gembira. Keputusan
diambil, pembelajaran jarak jauh dilaksanakan dengan cara virtual. Bagi
sebagian guru, mengajar secara virtual menjadi beban pikiran yang mengganjal,
namun semua itu tak berlaku pada diriku. Selama ini kemajuan teknologi menjadi
sesuatu yang kugandrungi. Minatku memang lebih besar pada bidang itu. Aku lebih
tertarik bekerja sebagai praktisi teknologi yang tentunya tidak membutuhkan
banyak pembicaraan. Aku suka bekerja di balik layar. Kurasa hal ini juga yang
membuatku tak senang berhadapan langsung dengan anak bawang yang banyak tingkah
itu.
Pembelajaran virtual sudah
berlangsung selama sepekan, namun pada awal kegiatan pembelajaran aku sudah dibuat
tak nyaman. Bertubi-tubi pertanyaan diajukan oleh siswa terkait pengoperasian
aplikasi pembelajaran. Tak henti-hentinya perangkat komunikasiku
berdering-dering demi pertanyaan, “Bapak, ini gimana daftar *classroom?”, “Pak, saya ga tau email saya apa, saya ngga
bisa login classroom.”, atau “Bapak, kuota saya nda cukup untuk *zoom meet.”, “HP saya jadul Pak, cuma bisa buat sms,” dan ratusan pertanyaan dan
pernyataan lain yang jawabannya serupa namun harus kuulangi berkali-kali karena
mereka tak berhadapan langsung secara klasikal. Aku bergumam, “Sabar Mahes, ini
cuma di awal. Nanti kalau mereka sudah terbiasa belajar virtual, pasti ponselmu
tak lagi sesibuk ini.”
Benar saja, kira-kira dua
minggu setelah penetapan pembelajaran virtual dilakukan, ponselku terasa
sedikit lebih tenang. Tak lagi berdering-dering seperti di awal. Aku mulai
tenang. Perasaanku sungguh senang. Namun, sungguh aku tak tahu, di hadapanku
mulai muncul riak-riak baru.
Memasuki sebulan pembelajaran
virtual, sebuah notifikasi masuk ke ponselku. “Bapak Ibu guru yang terhormat,
dimohon kehadirannya besok pagi di sekolah guna evaluasi proses pembelajaran
virtual yang telah diterapkan.” Demikian pesan singkat berisi undangan rapat.
“Susahnya anak-anak ditagih
tugas, bagaimana mau memberi nilai,” seorang rekan guru mulai menyampaikan
keluhan.
“Pukul 10 saya telepon masih
tidur, bagaimana mau zoom meet. Dikiranya belajar di rumah bisa
seenaknya begitu ya,” ujar yang lain.
“Mamaknya Dhika chat saya tadi pagi katanya mau datang
ke sekolah, mau minta tugas, katanya dia nda
punya uang untuk membelikan kuota anaknya untuk mengirim tugas,” sambut guru
lain.
Kepala sekolah terdiam
mendengar berbagai keluhan. Aku mulai tercenung. Ternyata pembelajaran jarak
jauh tidak sesederhana yang kupikirkan. Berbagai persoalan muncul satu per satu
seperti gunung es di lautan. Tampak kecil di permukaan namun begitu besar di
bagian dasar. Ah, persetan dengan semua masalah itu. Toh mereka bukan anakku, bukan sanak saudaraku. Yang terpenting
tugasku sudah kulaksanakan, mengajar dengan cara virtual. Persoalan materi
dipahami oleh siswa atau seberapa banyak mereka yang tertib mengumpulkan tugas
itu urusan belakang. Nilai dapat dengan mudah kukarang. Yang jelas selepas
rapat ini aku berencana untuk nongkrong, ngopi di kafe langgananku.
Aku menekur di sudut kafe yang
lumayan tersohor di kotaku. Sembari menyesap dalam-dalam mild yang
terselip di antara jemariku. Di luar dugaan, keluhan rekan-rekan guru sepanjang
rapat tadi mengusik ketenanganku. Apa-apaan ini! Aku mulai muak dihantui suara
keluhan bertubi-tubi. Kupanggil seorang pramusaji,
“Neng, kopi susu satu gelas
lagi ya, sepaket dengan pisang goreng srikaya.” Tak banyak bicara pramusaji itu
berlalu dari hadapanku. Wajahnya pucat, tampak tak sehat. Mungkin dia kelelahan
setelah seharian melayani pesanan pengunjung.
Tak perlu menunggu lama
pesananku tiba. Kembali kunikmati kopi susu yang sudah memasuki hitungan gelas
kedua. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.04 WIB. Sudah saatnya aku pulang.
Lima hari berselang sejak aku
selesai ngopi di kafe itu kurasakan tubuhku melemah. Rasa-rasanya suhu tubuhku
merangkak naik. Demam dan tenggorokan terasa kering. Hari keenam aku mulai
batuk kering. Ah, mungkin gejala batuk flu biasa. Aku berniat keluar rumah,
tujuanku satu, ke kafe, mencari kopi sebagai penyegar. Sial, kafe langgananku
tutup, padahal sejauh yang aku tahu kafe ini tidak pernah tutup sejak
diresmikan kira-kira dua tahun lalu dan hanya tutup ketika jam operasionalnya
sudah habis. Aku memutar kendaraanku ke arah jalan pulang. Sesampai di rumah
aku bergegas ke dapur, kuseduh dan kuaduk kopi sendiri lantas kunikmati dengan
mulai menyulut mild kegemaranku. Konon kata orang obat batuk bagi
perokok adalah dengan semakin memperbanyak mengisapnya, dan itu yang kini
tengah kujalani. Anehnya, aroma kopi yang biasa segera menghampiri penciumanku
tak terendus sama sekali. Ah, mungkin karena batuk ini. Tunggu...tunggu...
bukankah aku batuk, aku tidak flu. Yang menghambat penciuman adalah akibat flu,
bukan batuk. Mengapa aku masih tak dapat membaui aroma kopi ini. Sore itu tetap
kusesap kopi dan mild di hadapanku tanpa kutahu paru-paruku mulai
kehilangan fungsinya sedikit demi sedikit.
Hari ke-8 usai aku menikmati
kopi di kafe itu. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. “Mahes, Kafe Golden
tutup dari kemarin, pegawainya kena Covid semua!” Bagai tersambar petir,
seketika aku lemas membaca pesan singkat itu. Aku masuk ke kamar dan mengunci
pintu. Aku dilanda kebingungan, apakah gejala demam dan hilang penciuman ini
karena aku terpapar dari pegawai kafe yang 8 hari lalu kukunjungi? Kuraih
kembali ponselku, aku mencari tahu tentang gejala Covid 19. Dan benar saja,
gejala yang kualami seluruhnya benar-benar cocok dengan yang tertera di laman
kesehatan di layar ponselku. Aku semakin lemas. Aku lantas menelepon bapak
meskipun beliau berada di teras, persis di depan kamarku.
“Pak, kayaknya aku kena
Covid,” setengah menangis aku mengadu pada bapakku. Seumur hidupku baru kali ini
kurasakan ketakutan yang terlampau kuat. Aku takut mati seperti berita tentang
pasien Covid di televisi.
Bapak tak kalah terperanjat.
Kulihat dari jendela kamar beliau seketika berdiri dan hendak berlari masuk
menghampiri kamarku. Segera aku berteriak,
“Jangan, Pak. Jangan dekati
aku. Aku mau telpon temanku yang pegawai puskesmas saja.”
Sore itu juga aku dijemput tiga
orang petugas berpakaian pelindung diri lengkap. Aku dibawa ke rumah sakit
untuk mendapat perawatan intensif.
Benar saja, tes swab-ku
menunjukkan aku positif terpapar Covid. Semakin hari kurasa keadaanku semakin lemah
dan parah. Aku kesulitan bernafas. Sebelumnya aku memmang memiliki riwayat
asma. Jika kuhitung sejak dirujuk ke rumah sakit sudah kuhabiskan 5 tabung
oksigen agar aku dapat bernafas sedikit lega. Ada kalanya aku sampai tertidur
kala kelelahan menahan sesaknya dada. Hingga suatu malam aku terbangun,
kurasakan tubuhku ringan. Nafasku lega, tak seperti sebelumnya ketika aku
setengah mati berusaha menarik nafas melalui indra penciuman. Kurasa aku juga
bebas berjalan-jalan di koridor rumah sakit tanpa satu petugas rumah sakit pun
menahanku agar tak keluar dari ruang isolasi. Aku cukup heran dengan keadaanku.
Tak berapa lama kemudian aku kembali ke ruang isolasi dan, “Astagaaa….!” Aku
mendapati diriku terkapar masih lengkap dengan masker oksigen menempel di
wajahku. “Astagfirullah, aku
meninggal!” Aku kalap. Aku berusaha mengguncang-guncang tubuhku namun sama
sekali tak bergerak sedikitpun. Baru kusadari aku tak dapat menyentuh tubuhku. Aku
menangis sejadi-jadinya. Begitu banyak bayangan terlintas dalam benakku kala
itu. Bayangan kedua orang tuaku, bayangan rekan kerja di sekolahku, dan bayangan
wajah anak-anak bawang itu. Ya Tuhan, mengapa seketika rasa rindu yang kuat
kepada mereka terasa menyekap. Aku ingin berada di antara mereka. Sangat ingin!
Sejenak menenangkan diri, aku lantas berusaha berbaring kembali di tubuhku.
Masih sambil menangis, aku berusaha menyatu kembali dengan ragaku. Aku lelah
menangis dan kembali tertidur.
Kurasakan tubuhku
diguncang-guncang. Ketika membuka mata aku mendapati seorang petugas rumah
sakit berpakaian pelindung diri memang berusaha membangunkanku. Jadwalnya aku
mengonsumsi obat pereda Covid. Tak banyak yang kulakukan, aku lantas memeluk
erat petugas rumah sakit berpakaian pelindung diri itu sambil kembali menangis.
Petugas itu hanya bingung mendapati aku yang memeluknya seerat mungkin lantas
berkata, “Mas, jangan nangis, nanti nafasnya semakin sesak.”
Hampir sebulan aku berada di
ruang isolasi ini. Kurasa kondisiku mulai membaik. Bahkan terlampau baik. Aku
harus kembali menjalani tes swab sebelum dinyatakan boleh pulang. Segala puji
bagi Tuhan, hasil tes swab-ku negatif. Aku boleh pulang. Aku
sungguh-sungguh merasa rindu pada segala aktivitasku. Aku rindu orang tuaku,
aku rindu rekan-rekan kerjaku. Dan harus kuakui, aku rindu anak-anak bawang
itu. Entah mengapa aku rindu tingkah polah mereka yang menyebalkan itu.
Sebenarnya aku sendiri tidak
benar-benar tahu apakah yang kualami waktu itu adalah kematiaan sesaat atau
yang lebih populer disebut dengan mati suri atau hanya bunga tidur yang terjadi
karena ketakutanku yang berlebihan soal kematian pasien Covid-19. Namun semua
kusimpulkan sebagai ‘teguran’ yang menyadarkan.
Kepulanganku dijemput oleh
keluarga besarku. Satu yang pasti, sejak melangkah meninggalkan ruang isolasi,
aku berjanji dalam hati, aku akan mengabdi sepenuh hati, aku akan mencintai
profesiku kini. Aku akan mengajar dan mendidik anak-anak bawang itu. Aku tidak
akan menyia-nyiakan kesempatan hidup keduaku dan akan lebih bersyukur atas
segala yang sudah menjadi takdirku.
Image by google
0 komentar:
Posting Komentar