NATALIA HESTY

Selamat Datang di Blog NATLIA HESTY. Bergerak, Tergerak, Menggerakkan. Tetap Belajar Walau Sudah Mengajar
SELAMAT DATANG DI BLOG NATALIA HESTY

Kamis, 25 Mei 2023

KESEMPATAN KEDUA

 

KESEMPATAN KEDUA

Medio Maret 2020, Covid-19 mulai menggerayangi Indonesia. Keputusan mas menteri pendidikan yang menginstruksikan pembelajaran tatap muka dihentikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan menjadi headline berita yang mulai wara-wiri kubaca di laman media sosial instagramku. Seketika laci-laci emosiku terbongkar. Jujur, sebagai manusia biasa yang terkadang dihinggapi malas ada terselip rasa gembira karena pembelajaran tatap muka dihentikan sementara. Itu artinya untuk sementara waktu aku tak perlu bertemu ‘anak-anak bawang’ itu. Anak-anak bawang yang rasanya lebih sering menyebalkan dibanding mendatangkan kesenangan. Ya, rasanya mereka selalu memiliki amunisi untuk menguji kesabaranku. Tidak hanya aku, rekan-rekan guru lain di sekolahku pun acapkali mengeluh perihal tingkah mereka. Bedanya, rekan guru lain mungkin menyimpan atau bahkan mampu memproduksi jutaan stok kesabaran luar biasa untuk menghadapi polah mereka yang sungguh menguras energi. Sementara aku, hanya manusia biasa yang masih selalu juara dalam mengedepankan amarah.

 Namaku Mahesa Wara. Orang sering memanggilku dengan sebutan Mahes. Demikian juga dengan anak-anak bawang itu memanggilku Pak Mahes. Kata orang, guru muda biasanya lebih mudah diterima keberadaannya oleh para siswa karena pada umumnya memiliki ilmu pendekatan khusus dalam memahami jiwa kekinian para siswa. Tapi tidak demikian denganku. Aku menjadi guru hanyalah proses ‘banting setir’ akibat jerumusan orang tuaku yang juga berprofesi sebagai guru. Sementara hati kecilku sungguh menolak profesi itu. Aku menyadari diriku bukanlah tipikal orang yang sabar dan telaten dalam menjelaskan sesuatu, terlebih jika ketika aku sudah menjelaskan sekali lantas masih ada yang bertanya, emosiku akan dengan mudah terpancing. Aku tak ingin sifatku yang temperamen malah menjadi batu sandungan dalam hidupku di kemudian hari.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, suatu kebetulan yang kurang menyenangkan buatku ketika dalam tes masuk aparatur sipil negara aku lolos seleksi. Terbayang di hadapanku puluhan tahun aku akan mengabdi pada negeri ini dengan cara yang paling kuhindari. Menjadi guru, ya menjadi guru. Bagi sebagian orang menjadi guru apalagi berlabel guru aparatur sipil negara merupakan suatu dambaan. Sementara aku hanyalah menuruti keinginan orang tua yang begitu memimpikan anaknya menjadi penerusnya. Kata-kata bapak yang selalu terngiang di telingaku hanya satu, “Nak, jadilah guru seperti kami. Amal ibadahmu jariah, akan terus bertambah sepanjang kau menularkan pengetahuanmu meskipun ajal menjemputmu.” Terwujudlah perkataan beliau itu kini. Aku menjadi guru di salah satu sekolah menengah pertama di kotaku. Sedikit hiburan bagi hatiku hanyalah keberhasilanku mewujudkan impian kedua orang tuaku, selebihnya, aku tak ayal sesosok robot yang menjalankan kewajibanku.

Hari-hari kuhabiskan dengan mengajar. Hanya mengajar tapi tidak mendidik. Kukatakan hanya mengajar tapi tidak mendidik karena dalam proses pembelajaran yang kujalani, aku tak pernah peduli apakah para anak bawang itu memahami apa yang kuajarkan. Selebihnya, jangankan memahami apa yang kuajarkan, berapa jumlah mereka yang hadir dalam satu kelas saat mengikuti kegiatan pembelajaranku saja aku tak pernah ambil pusing. Hingga tibalah masa itu, masa yang kurasa paling kutunggu dalam hidupku meskipun aku tak pernah tahu ternyata akan datang masa itu. Suatu masa kala wabah penyakit yang disebabkan virus Corona menginfasi penjuru bumi. 

“Bapak Ibu rekan-rekan guru, diharapkan kehadirannya besok pagi di ruang guru guna mengikuti rapat membahas proses pembelajaran yang akan kita selenggarakan selama masa pandemi.” Demikian pesan singkat yang kuterima dari kepala sekolah kala mas menteri pendidikan sudah mengeluarkan instruksi pembelajaran tatap muka dihentikan sementara. Ketika menerima pesan singkat itu di ponselku, wajahku sumringah. Senyumku mengembang, aku sungguh merasa senang. Sudah terbayang di benakku aku tak perlu terpaksa bangun pagi dan bergegas menuju sekolah. Sebuah rutinitas yang benar-benar membuatku jengah. 

Pagi itu aku bangun lebih awal dari biasanya. Selepas mandi, kupacu kuda besiku ke arah sekolah. Tak pernah aku merasa lebih berenergi seperti pagi itu.

“Selamat pagi!” sapaku pada penjaga sekolah.

“Tumben awal, Pak. Biasanya terlambat.” Sapaan penjaga sekolah yang seharusnya membuat aku tersinggung malah kubalas dengan kelakar,

“Iya nih, lagi happy!”

Beringsut penjaga sekolah dari hadapanku dengan tampang yang bingung dan ragu-ragu. Ah, masa bodohlah dengan semua itu.

Sepanjang rapat bersama kepala sekolah dan dewan guru, aku tak henti-hentinya merasakan gembira. Keputusan diambil, pembelajaran jarak jauh dilaksanakan dengan cara virtual. Bagi sebagian guru, mengajar secara virtual menjadi beban pikiran yang mengganjal, namun semua itu tak berlaku pada diriku. Selama ini kemajuan teknologi menjadi sesuatu yang kugandrungi. Minatku memang lebih besar pada bidang itu. Aku lebih tertarik bekerja sebagai praktisi teknologi yang tentunya tidak membutuhkan banyak pembicaraan. Aku suka bekerja di balik layar. Kurasa hal ini juga yang membuatku tak senang berhadapan langsung dengan anak bawang yang banyak tingkah itu.

Pembelajaran virtual sudah berlangsung selama sepekan, namun pada awal kegiatan pembelajaran aku sudah dibuat tak nyaman. Bertubi-tubi pertanyaan diajukan oleh siswa terkait pengoperasian aplikasi pembelajaran. Tak henti-hentinya perangkat komunikasiku berdering-dering demi pertanyaan, “Bapak, ini gimana daftar *classroom?”, “Pak, saya ga tau email saya apa, saya ngga bisa login classroom.”, atau “Bapak, kuota saya nda cukup untuk *zoom meet.”, “HP saya jadul Pak, cuma bisa buat sms,” dan ratusan pertanyaan dan pernyataan lain yang jawabannya serupa namun harus kuulangi berkali-kali karena mereka tak berhadapan langsung secara klasikal. Aku bergumam, “Sabar Mahes, ini cuma di awal. Nanti kalau mereka sudah terbiasa belajar virtual, pasti ponselmu tak lagi sesibuk ini.”

Benar saja, kira-kira dua minggu setelah penetapan pembelajaran virtual dilakukan, ponselku terasa sedikit lebih tenang. Tak lagi berdering-dering seperti di awal. Aku mulai tenang. Perasaanku sungguh senang. Namun, sungguh aku tak tahu, di hadapanku mulai muncul riak-riak baru.

Memasuki sebulan pembelajaran virtual, sebuah notifikasi masuk ke ponselku. “Bapak Ibu guru yang terhormat, dimohon kehadirannya besok pagi di sekolah guna evaluasi proses pembelajaran virtual yang telah diterapkan.” Demikian pesan singkat berisi undangan rapat.

“Susahnya anak-anak ditagih tugas, bagaimana mau memberi nilai,” seorang rekan guru mulai menyampaikan keluhan.

“Pukul 10 saya telepon masih tidur, bagaimana mau zoom meet. Dikiranya belajar di rumah bisa seenaknya begitu ya,” ujar yang lain.

“Mamaknya Dhika chat saya tadi pagi katanya mau datang ke sekolah, mau minta tugas, katanya dia nda punya uang untuk membelikan kuota anaknya untuk mengirim tugas,” sambut guru lain.

Kepala sekolah terdiam mendengar berbagai keluhan. Aku mulai tercenung. Ternyata pembelajaran jarak jauh tidak sesederhana yang kupikirkan. Berbagai persoalan muncul satu per satu seperti gunung es di lautan. Tampak kecil di permukaan namun begitu besar di bagian dasar. Ah, persetan dengan semua masalah itu. Toh mereka bukan anakku, bukan sanak saudaraku. Yang terpenting tugasku sudah kulaksanakan, mengajar dengan cara virtual. Persoalan materi dipahami oleh siswa atau seberapa banyak mereka yang tertib mengumpulkan tugas itu urusan belakang. Nilai dapat dengan mudah kukarang. Yang jelas selepas rapat ini aku berencana untuk nongkrong, ngopi di kafe langgananku.  

Aku menekur di sudut kafe yang lumayan tersohor di kotaku. Sembari menyesap dalam-dalam mild yang terselip di antara jemariku. Di luar dugaan, keluhan rekan-rekan guru sepanjang rapat tadi mengusik ketenanganku. Apa-apaan ini! Aku mulai muak dihantui suara keluhan bertubi-tubi. Kupanggil seorang pramusaji,

“Neng, kopi susu satu gelas lagi ya, sepaket dengan pisang goreng srikaya.” Tak banyak bicara pramusaji itu berlalu dari hadapanku. Wajahnya pucat, tampak tak sehat. Mungkin dia kelelahan setelah seharian melayani pesanan pengunjung.

Tak perlu menunggu lama pesananku tiba. Kembali kunikmati kopi susu yang sudah memasuki hitungan gelas kedua. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.04 WIB. Sudah saatnya aku pulang.

Lima hari berselang sejak aku selesai ngopi di kafe itu kurasakan tubuhku melemah. Rasa-rasanya suhu tubuhku merangkak naik. Demam dan tenggorokan terasa kering. Hari keenam aku mulai batuk kering. Ah, mungkin gejala batuk flu biasa. Aku berniat keluar rumah, tujuanku satu, ke kafe, mencari kopi sebagai penyegar. Sial, kafe langgananku tutup, padahal sejauh yang aku tahu kafe ini tidak pernah tutup sejak diresmikan kira-kira dua tahun lalu dan hanya tutup ketika jam operasionalnya sudah habis. Aku memutar kendaraanku ke arah jalan pulang. Sesampai di rumah aku bergegas ke dapur, kuseduh dan kuaduk kopi sendiri lantas kunikmati dengan mulai menyulut mild kegemaranku. Konon kata orang obat batuk bagi perokok adalah dengan semakin memperbanyak mengisapnya, dan itu yang kini tengah kujalani. Anehnya, aroma kopi yang biasa segera menghampiri penciumanku tak terendus sama sekali. Ah, mungkin karena batuk ini. Tunggu...tunggu... bukankah aku batuk, aku tidak flu. Yang menghambat penciuman adalah akibat flu, bukan batuk. Mengapa aku masih tak dapat membaui aroma kopi ini. Sore itu tetap kusesap kopi dan mild di hadapanku tanpa kutahu paru-paruku mulai kehilangan fungsinya sedikit demi sedikit.

Hari ke-8 usai aku menikmati kopi di kafe itu. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. “Mahes, Kafe Golden tutup dari kemarin, pegawainya kena Covid semua!” Bagai tersambar petir, seketika aku lemas membaca pesan singkat itu. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu. Aku dilanda kebingungan, apakah gejala demam dan hilang penciuman ini karena aku terpapar dari pegawai kafe yang 8 hari lalu kukunjungi? Kuraih kembali ponselku, aku mencari tahu tentang gejala Covid 19. Dan benar saja, gejala yang kualami seluruhnya benar-benar cocok dengan yang tertera di laman kesehatan di layar ponselku. Aku semakin lemas. Aku lantas menelepon bapak meskipun beliau berada di teras, persis di depan kamarku.

“Pak, kayaknya aku kena Covid,” setengah menangis aku mengadu pada bapakku. Seumur hidupku baru kali ini kurasakan ketakutan yang terlampau kuat. Aku takut mati seperti berita tentang pasien Covid di televisi.

Bapak tak kalah terperanjat. Kulihat dari jendela kamar beliau seketika berdiri dan hendak berlari masuk menghampiri kamarku. Segera aku berteriak,

“Jangan, Pak. Jangan dekati aku. Aku mau telpon temanku yang pegawai puskesmas saja.”

Sore itu juga aku dijemput tiga orang petugas berpakaian pelindung diri lengkap. Aku dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan intensif.

Benar saja, tes swab-ku menunjukkan aku positif terpapar Covid. Semakin hari kurasa keadaanku semakin lemah dan parah. Aku kesulitan bernafas. Sebelumnya aku memmang memiliki riwayat asma. Jika kuhitung sejak dirujuk ke rumah sakit sudah kuhabiskan 5 tabung oksigen agar aku dapat bernafas sedikit lega. Ada kalanya aku sampai tertidur kala kelelahan menahan sesaknya dada. Hingga suatu malam aku terbangun, kurasakan tubuhku ringan. Nafasku lega, tak seperti sebelumnya ketika aku setengah mati berusaha menarik nafas melalui indra penciuman. Kurasa aku juga bebas berjalan-jalan di koridor rumah sakit tanpa satu petugas rumah sakit pun menahanku agar tak keluar dari ruang isolasi. Aku cukup heran dengan keadaanku. Tak berapa lama kemudian aku kembali ke ruang isolasi dan, “Astagaaa….!” Aku mendapati diriku terkapar masih lengkap dengan masker oksigen menempel di wajahku. “Astagfirullah, aku meninggal!” Aku kalap. Aku berusaha mengguncang-guncang tubuhku namun sama sekali tak bergerak sedikitpun. Baru kusadari aku tak dapat menyentuh tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu banyak bayangan terlintas dalam benakku kala itu. Bayangan kedua orang tuaku, bayangan rekan kerja di sekolahku, dan bayangan wajah anak-anak bawang itu. Ya Tuhan, mengapa seketika rasa rindu yang kuat kepada mereka terasa menyekap. Aku ingin berada di antara mereka. Sangat ingin! Sejenak menenangkan diri, aku lantas berusaha berbaring kembali di tubuhku. Masih sambil menangis, aku berusaha menyatu kembali dengan ragaku. Aku lelah menangis dan kembali tertidur.

Kurasakan tubuhku diguncang-guncang. Ketika membuka mata aku mendapati seorang petugas rumah sakit berpakaian pelindung diri memang berusaha membangunkanku. Jadwalnya aku mengonsumsi obat pereda Covid. Tak banyak yang kulakukan, aku lantas memeluk erat petugas rumah sakit berpakaian pelindung diri itu sambil kembali menangis. Petugas itu hanya bingung mendapati aku yang memeluknya seerat mungkin lantas berkata, “Mas, jangan nangis, nanti nafasnya semakin sesak.”

Hampir sebulan aku berada di ruang isolasi ini. Kurasa kondisiku mulai membaik. Bahkan terlampau baik. Aku harus kembali menjalani tes swab sebelum dinyatakan boleh pulang. Segala puji bagi Tuhan, hasil tes swab-ku negatif. Aku boleh pulang. Aku sungguh-sungguh merasa rindu pada segala aktivitasku. Aku rindu orang tuaku, aku rindu rekan-rekan kerjaku. Dan harus kuakui, aku rindu anak-anak bawang itu. Entah mengapa aku rindu tingkah polah mereka yang menyebalkan itu.

Sebenarnya aku sendiri tidak benar-benar tahu apakah yang kualami waktu itu adalah kematiaan sesaat atau yang lebih populer disebut dengan mati suri atau hanya bunga tidur yang terjadi karena ketakutanku yang berlebihan soal kematian pasien Covid-19. Namun semua kusimpulkan sebagai ‘teguran’ yang menyadarkan.

Kepulanganku dijemput oleh keluarga besarku. Satu yang pasti, sejak melangkah meninggalkan ruang isolasi, aku berjanji dalam hati, aku akan mengabdi sepenuh hati, aku akan mencintai profesiku kini. Aku akan mengajar dan mendidik anak-anak bawang itu. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan hidup keduaku dan akan lebih bersyukur atas segala yang sudah menjadi takdirku.

 

                                                   Image by google

 

 

0 komentar:

Posting Komentar